![]() |
bisnis syariah |
A.
Pendahuluan
Secara bahasa,
Syariat (al-syari’ah) berarti sumber air minum (mawrid al-ma’ li al istisqa)
atau jalan lurus (at-thariq al-mustaqîm). Sedang secara istilah Syariah
bermakna perundang-undangan yang diturunkan Allah Swt melalui Rasulullah
Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia baik menyangkut masalah ibadah, akhlak,
makanan, minuman pakaian maupun muamalah (interaksi sesama manusia dalam
berbagai aspek kehidupan) guna meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Menurut Syafi’I
Antonio, syariah mempunyai keunikan tersendiri, Syariah tidak saja
komprehensif, tetapi juga universal. Universal bermakna bahwa syariah dapat
diterapkan dalam setiap waktu dan tempat oleh setiap manusia. Keuniversalan ini
terutama pada bidang sosial (ekonomi) yang tidak membeda-bedakan antara
kalangan Muslim dan non-Muslim. (Syariah Marketing, Hal. 169). Dengan mengacu
pada pengertian tersebut, Hermawan Kartajaya dan Syakir Sula memberi pengertian
bahwa Bisnis syariah adalah bisnis yang santun, bisnis yang penuh kebersamaan
dan penghormatan atas hak masing-masing. (Syariah Marketing, hal. 45).
Pengertian yang hari lalu cenderung normatif dan terkesan jauh dari kenyataan
bisnis kini dapat dilihat dan dipraktikkan dan akan menjadi trend bisnis masa depan.
B.
Prinsip Dasar dan Etika
dalam Bisnis Syari’ah
Ada empat prinsip
(aksioma) dalam ilmu ikonomi Islam yang mesti diterapkan dalam bisnis syari’ah,
yaitu: Tauhid (Unity/kesatuan), Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium),
Kehendak Bebas (Free Will), dan Tanggung Jawab (Responsibility).[1]
Tauhid
mengantarkan manusia pada pengakuan akan keesaan Allah selaku Tuhan semesta
alam. Dalam kandungannya meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini
bersumber dan berakhir kepada-Nya. Dialah pemilik mutlak dan absolut atas semua
yang diciptakannya. Oleh sebab itu segala aktifitas khususnya dalam muamalah
dan bisnis manusia hendaklah mengikuti aturan-aturan yang ada jangan sampai
menyalahi batasan-batasan yang telah diberikan.
Keseimbangan atau
kesejajaran (Equilibrium) merupakan konsep yang menunjukkan adanya keadilan
sosial. Kehendak bebas (Free Will) yakni manusia mempunyai suatu potensi dalam
menentukan pilihan-pilihan yang beragam, karena kebebasan manusia tidak
dibatasi. Tetapi dalam kehendak bebas yang diberikan Allah kepada manusia
haruslah sejalan dengan prinsip dasar diciptakannya manusia yaitu sebagai
khalifah di bumi. Sehingga kehendak bebas itu harus sejalan dengan kemaslahatan
kepentingan individu telebih lagi pada kepentingan umat.
Tanggung Jawab (Responsibility)
terkait erat dengan tanggung jawab manusia atas segala aktifitas yang dilakukan
kepada Tuhan dan juga tanggung jawab kepada manusia sebagai masyarakat. Karena
manusia hidup tidak sendiri dia tidak lepas dari hukum yang dibuat oleh manusia
itu sendiri sebagai komunitas sosial. Tanggung jawab kepada Tuhan tentunya
diakhirat, tapi tanggung jawab kepada manusia didapat didunia berupa
hukum-hukum formal maupun hukum non formal seperti sangsi moral dan lain
sebagainya.
Sementara menurut
Beekun terdapat 5 aksioma dalam ekonomi islam. Sebagai yang kelima adalah
benovelence atau dalam istilah lebih familiar dikenal dengan Ihsan.[2] Ihsan
adalah kehendak untuk melakukan kebaikan hati dan meletakkan bisnis pada tujuan
berbuat kebaikan. Kelima prinsip tersebut secara operasional perlu didukung
dengan suatu etika bisnis yang akan menjaga prinsip-prinsip tersebut dapat
terwujud.
C.
Etika Bisnis Syari’ah
Etika dipahami
sebagai seperangkat prinsip yang mengatur hidup manusia (a code or set of
principles which people live). Berbeda dengan moral, etika merupakan refleksi
kritis dan penjelasan rasional mengapa sesuatu itu baik dan buruk. Menipu orang
lain adalah buruk. Ini berada pada tataran moral, sedangkan kajian kritis dan
rasional mengapa menipu itu buruk dan apa alasan pikirnya, merupakan lapangan
etika. Perbedaan antara moral dan etika sering kabur dan cendrung disamakan.
Intinya, moral dan etika diperlukan manusia supaya hidupnya teratur dan
bermartabat. Orang yang menyalahi etika akan berhadapan dengan sanksi
masyarakat berupa pengucilan dan bahkan pidana.Bisnis merupakan bagian yang tak
bisa dilepaskan dari kegiatan manusia. Sebagai bagian dari kegiatan ekonomi
manusia, bisnis juga dihadapkan pada pilihan-pilihan penggunaan factor
produksi. Efisiensi dan efektifitas menjadi dasar prilaku kalangan pebisnis.
Sejak zaman klasik sampai era modern, masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi
tidak begitu mendapat tempat. Ekonom klasik banyak berkeyakinan bahwa sebuah
bisnis tidak terkait dengan etika. Dalam ungkapan Theodore Levitt, tanggung
jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan ekonomis belaka. Atas nama
efisiensi dan efektifitas, tak jarang, masyarakat dikorbankan, lingkungan rusak
dan karakter budaya dan agama tercampakkan.
Perbedaan etika
bisnis syariah dengan etika bisnis yang selama ini dipahami dalam kajian
ekonomi terletak pada landasan tauhid dan orientasi jangka panjang (akhirat).
Prinsip ini dipastikan lebih mengikat dan tegas sanksinya. Etika bisnis syariah
memiliki dua cakupan. Pertama, cakupan internal, yang berarti perusahaan
memiliki manajemen internal yang memperhatikan aspek kesejahteraan karyawan,
perlakuan yang manusiawi dan tidak diskriminatif plus pendidikan. Sedangkan
kedua, cakupan eksternal meliputi aspek trasparansi, akuntabilitas, kejujuran
dan tanggung jawab. Demikian pula kesediaan perusahaan untuk memperhatikan
aspek lingkungan dan masyarakat sebagai stake holder perusahaan.
Etika yang
diabaikan bisa membuat perusahaan kehilangan kepercayaan dari masyarakat bahkan
mungkin dituntut di muka hukum. Manajemen yang tidak menerapkan nilai-nilai
etika dan hanya berorientasi pada laba (tujuan) jangka pendek, tidak akan mampu
bertahan (survive) dalam jangka panjang. Jika demikian, pilihan berada di
tangan kita. Apakah memilih keuntungan jangka pendek dengan mengabaikan etika
atau memilih keuntungan jangka panjang dengan komit terhadap prinsip-prinsip
etika –dalam hal ini etika bisnis syariah-.
D.
Ciri Khas Bisnis Syari’ah
Bisnis syariah
merupakan implementasi/perwujudan dari aturan syari’at Allah. Sebenarnya bentuk
bisnis syari’ah tidak jauh beda dengan bisnis pada umumnya, yaitu upaya
memproduksi/mengusahakan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan konsumen.
Namun aspek syariah inilah yang membedakannya dengan bisnis pada umumnya.
Sehingga bisnis syariah selain mengusahakan bisnis pada umumnya, juga
menjalankan syariat dan perintah Allah dalam hal bermuamalah. Untuk membedakan
antara bisnis syariah dan yang bukan, maka kita dapat mengetahuinya melalui
ciri dan karakter dari bisnis syariah yang memiliki keunikan dan ciri
tersendiri. Beberapa cirri itu antara lain:
1.
Selalu Berpijak Pada
Nilai-Nilai Ruhiyah. Nilai ruhiyah adalah kesadaran setiap manusia akan
eksistensinya sebagai ciptaan (makhluq) Allah yang harus selalu kontak
dengan-Nya dalam wujud ketaatan di setiap tarikan nafas hidupnya. Ada tiga
aspek paling tidak nilai ruhiyah ini harus terwujud , yaitu pada aspek : (1)
Konsep, (2) Sistem yang di berlakukan, (3) Pelaku (personil).
2. Memiliki Pemahaman Terhadap Bisnis yang Halal dan Haram.
Seorang pelaku bisnis syariah dituntut mengetahui benar fakta-fakta (tahqiqul
manath) terhadap praktek bisnis yang Sahih dan yang salah. Disamping juga harus
paham dasar-dasar nash yang dijadikan
hukumnya (tahqiqul hukmi).
3. Benar Secara Syar’iy Dalam Implementasi. Intinya pada
masalah ini adalah ada kesesuaian antara teori dan praktek, antara apa yang
telah dipahami dan yang di terapkan. Sehingga pertimbangannya tidak semata-mata
untung dan rugi secara material.
4. Berorientasi Pada Hasil Dunia dan Akhirat. Bisnis tentu
di lakukan untuk mendapat keuntungan sebanyak-banyak berupa harta, dan ini di
benarkan dalam Islam. Karena di lakukannya bisnis memang untuk mendapatkan
keuntungan materi (qimah madiyah). Dalam konteks ini hasil yang di peroleh, di
miliki dan dirasakan, memang berupaharta.
5.
Namun, seorang Muslim yang sholeh
tentu bukan hanya itu yang jadi orientasi hidupnya. Namun lebih dari itu. Yaitu
kebahagiaan abadi di yaumil akhir. Oleh karenanya. Untuk
mendapatkannya, dia harus menjadikan bisnis yang dikerjakannya itu sebagai
ladang ibadah dan menjadi pahala di hadapan Allah . Hal itu terwujud jika
bisnis atau apapun yang kita lakukan selalu mendasarkan pada aturan-Nya yaitu
syariah Islam.
Jika semua hal
diatas dimiliki oleh seorang pengusaha muslim, niscaya dia akan mampu memadukan
antara realitas bisnis duniawi dengan ukhrowi, sehingga memberikan manfaat bagi
kehidupannya di dunia maupun akhirat. Akhirnya, jadilah kaya yang dengannya
kita bisa beribadah di level yang lebih tinggi lagi.
E.
Akad Dalam Bisnis Syariah
Dalam setiap
transaksi islami, akan memegang peranan yang sangat penting. Akad ibaratnya
sebuah dinding yang sangat tipis dan dengannya terpisah antara yang sah dan
tidak. Secara bahasa, akad atau perjanjian itu digunakan untuk banyak arti,
yang keseluruhannya kembali kepada bentuk ikatan atau penghubungan terhadap dua
hal. Sementara akad menurut istilah adalah keterikatan keinginan diri dengan
keinginan orang lain dengan cara yang memunculkan adanya komitmen tertentu yang
disyariatkan. Terkadang kata akad dalam istilah dipergunakan dalam pe-ngertian
umum, yakni sesuatu yang diikatkan seseorang bagi diri-nya sendiri atau bagi
orang lain dengan kata harus. Di antaranya adalah firman Allah : “Wahai
orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad kalian.” Jual beli dan sejenisnya
adalah akad atau perjanjian dan kesepakatan. Setiap hal yang diharuskan
seseorang atas dirinya sendiri baik berupa nadzar, sumpah dan sejenisnya,
disebut sebagai akad.
F.
Rukun-Rukun Akad/Perjanjian
Akad memiliki tiga
rukun, yaitu: Adanya dua orang atau lebih yang saling terikat dengan akad,
adanya sesuatu yang diikat dengan akad, serta pengucapan akad/perjanjian
tersebut.[5]
1.
Dua Pihak atau lebih yang
Saling Terikat Dengan Akad
Dua orang atau
lebih yang terikat dengan akad ini adalah dua orang atau lebih yang secara
langsung terlibat dalam per-janjian. Kedua belah pihak dipersyaratkan harus
memiliki kemam-puan yang cukup untuk mengikuti proses perjanjian, sehingga
perjanjian atau akad tersebut dianggap sah. Kemampuan tersebut terbukti dengan
beberapa hal berikut:
a.
Pertama: Kemampuan
membedakan yang baik dan yang buruk. Yakni apabila pihak-pihak tersebut sudah
berakal lagi baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang tercekal
karena dianggap idiot atau bangkrut total, tidak sah melakukan perjanjian.
b.
Kedua: Pilihan. Tidak sah
akad yang dilakukan orang di bawah paksaan, kalau paksaan itu terbukti.
Misalnya orang yang berhutang dan butuh pengalihan hutangnya, atau orang yang
bangkrut, lalu dipaksa untuk menjual barangnya untuk menutupi hutangnya.
c.
Ketiga, akad itu dapat
dianggap berlaku (jadi total) bila tidak memiliki pengandaian yang disebut
khiyar (hak pilih). Seperti khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan),
khiyar ar-ru’yah (hak pilih dalam melihat) dan sejenisnya.
2.
Sesuatu yang Diikat Dengan
Akad
Yakni barang yang
dijual dalam akad jual beli, atau sesuatu yang disewakan dalam akad sewa dan
sejenisnya. Dalam hal itu juga ada beberapa persyaratan sehingga akad tersebut
dianggap sah, yakni sebagai berikut:
a.
Barang tersebut harus suci atau
meskipun terkena najis, bisa dibersihkan. Oleh sebab itu, akad usaha ini tidak
bisa diber-lakukan pada benda najis secara dzati, seperti bangkai. Atau benda
yang terkena najis namun tidak mungkin dihilangkan najisnya, seperti cuka, susu
dan benda cair sejenis yang terkena najis. Namun kalau mungkin dibersihkan,
boleh-boleh saja.
b.
Barang tersebut harus bisa
digunakan dengan cara yang disyariatkan. Karena fungsi legal dari satu komoditi
menjadi dasar nilai dan harga komoditi tersebut. Segala komoditi yang tidak
berguna seperti barang-barang rongsokan yang tidak dapat dimanfaatkan. (Yang
perlu diingat di sini, bahwa satu barang dikatakan bermanfaat atau tidak, itu
bisa berubah melalui perkembangan zaman. Sampah misalnya, dahulu dianggap
sebagai barang rongsokan yang tidak dapat dimanfaatkan. Namun dalam kehidupan
modern kita sekarang ini, sampah dapat digunakan dalam produksi pupuk dan
sejenisnya. Maka komoditi ini tidak lagi dianggap sebagai barang rongsokan)
Atau bermanfaat tetapi untuk hal-hal yang diharamkan, seperti minuman keras dan
sejenisnya, semuanya itu tidak dapat diperjualbelikan.
c.
Komoditi harus bisa
diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang tidak ada, atau ada tapi tidak
bisa diserahterimakan. Karena yang demikian itu termasuk menyamarkan harga, dan
itu dilarang.
d.
Barang yang dijual harus merupakan
milik sempurna dari orang yang melakukan penjualan. Barang yang tidak bisa
dimiliki tidak sah diperjualbelikan.
e.
Harus diketahui wujudnya oleh
orang yang melakukan akad jual beli bila merupakan barang-barang yang dijual
lang-sung. Dan harus diketahui ukuran, jenis dan kriterianya apabila
barang-barang itu berada dalam kepemilikan namun tidak berada di lokasi
transaksi. Bila barang-barang itu dijual langsung, harus diketahui wujudnya,
seperti mobil tertentu atau rumah tertentu dan sejenisnya. Namun kalau
barang-barang itu hanya dalam kepemilikan seperti jual beli sekarang ini dalam
akad jual beli as-Salm, di mana seorang pelanggan membeli barang yang diberi
gambaran dan dalam kepemilikan penjual, maka disyaratkan ha-rus diketahui
ukuran, jenis dan kriterianya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam :
مَنْ أَسْلَمَ فَلْيُسْلِمْ فيِ كَيْلٍ
مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ
“Barangsiapa yang melakukan jual beli
as-Salm hendaknya ia memesannya dalam satu takaran atau timbangan serta dalam
batas waktu yang jelas.”
G.
Kerjasama (Syirkah) dalam
Bisnis Syari’ah
Bisnis syari’ah
sebagaimana bisnis pada umumnya yang dibangun atas kerjasama berbagai pihak
dalam mengembangkan usahanya. Namun kerjasama dalam bisnis syari’ah tidak hanya
dibangun atas dasar keuntungan dan pertimbangan aspek duniawiyah saja, namun
juga dibangun atas dasar keridhoan Allah. Keridhoan Allah diperoleh melalui
implementasi prinsip-prinsip syariah dalam melaksanakan kerjasama bisnis.
Kerjasama dalam
Islam disebut dengan istilah syirkah. Kata syirkah dalam bahasa Arab secara
terminologis berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il
mudhari’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi
sekutu atau serikat. Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca
syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib
al-Arba’ah, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).[6] Sedangkan secara
etimologis, syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa
sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya.[7]
Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau
lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh
keuntungan.
H.
Hukum dan Rukun Syirkah
Syirkah hukumnya
jaiz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Saw berupa taqrîr (pengakuan) beliau
terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat
itu telah bermuamalah dengan cara bersyirkah dan Nabi Saw membenarkannya. Nabi
Saw bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra:
Allah ‘Azza wa
Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah
selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya
berkhianat, Aku keluar dari keduanya. (HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan
ad-Daruquthni).
Rukun syirkah yang
pokok ada 3, yaitu: (1) akad (ijab-kabul), disebut juga shighat; (2) dua pihak
yang berakad (‘aqidani), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan
tasharruf (pengelolaan harta); (3) obyek akad (mahal), disebut juga ma’qud
‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mal).[8] Adapun syarat
sah akad ada 2, yaitu: (1) obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas
pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli; (2)
obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak
bersama di antara para syarik (mitra usaha).[9]
I.
Macam-Macam Syirkah
Menurut
An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan
dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu:
a.
Syirkah Inan
Syirkah inan
adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi
konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mal). Syirkah ini hukumnya boleh
berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat. Contoh syirkah inan: A dan B
insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan
membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal
sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
b. Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan
adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan
konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mal). Konstribusi kerja itu
dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun
kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu,
nelayan, dan sebagainya). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal. Contohnya: A
dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan.
Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi
dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
c. Syirkah Mudharabah
Syirkah mudharabah
adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak
memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan
konstribusi modal (mal). Istilah mudharabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan
ulama Hijaz menyebutnya qiradh. Contoh: A sebagai pemodal (shahib al-mal / rabb
al-mal) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai
pengelola modal (‘amil/ mudharib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha
toko kelontong).
d. Syirkah Wujuh
Syirkah wujuh
disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam. Disebut syirkah wujuh karena didasarkan
pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah
masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang
sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C)
yang memberikan konstribusi modal (mal). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah
tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini menurut An Nabhani termasuk dalam syirkah
mudharabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudharabah padanya.
e. Syirkah Mufawadhah
Syirkah mufawadhah
adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis
syirkah di atas (syirkah inan, ‘abdan, mudharabah, dan wujuh).[18] Syirkah
mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap
jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan
dengan jenis syirkah lainnya.
J.
Lembaga Bisnis Syariah
Secara umum
lembaga bisnis syariah masih sebatas pada lembaga keuangan. Namun kini lembaga
bisnis syariah sudah mencakup pada perhotelan dan usaha sector riil. Lembaga
bisnis dapat dikategorikan dalam lembaga bisnis syariah apabila memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a.
Memproduksi barang yang halal
b.
Tidak melakukan transaksi yang bertentangan
dengan syariat
c.
Mendapatkan modal (kerjasama) dengan
cara-cara yang sah menurut Islam.
d.
Terdapat pengawas syariah pada
perusahaan tersebut.
Berdasarkan data dari Dewan
Syariah Nasional, hingga 08 Mei 2008 telah terdapat 10 lembaga pembiayaan
syariah, 1 lembaga pegadaian syariah, 2 DPLK Syariah, 4 usaha syariah, 1 modal
ventura syariah, dan 1 lembaga penjamin syariah.[19]
1. Pembiayaan Syariah
1. PT Federal Internasional Finance
2. PT Semesta Citra Dana
3. PT Mandala Multifinance, Tbk
4. PT Wahana Ottomitra Multiartha, Tbk
5. PT Amanah Finance
6. PT Fortuna Multi Finance
7. PT Trust Finance Indonesia, Tbk
8. PT Capitalinc Finance
9. PT Al-Ijarah Indonesia Finance
10. PT Trimamas Finance
1. PT Federal Internasional Finance
2. PT Semesta Citra Dana
3. PT Mandala Multifinance, Tbk
4. PT Wahana Ottomitra Multiartha, Tbk
5. PT Amanah Finance
6. PT Fortuna Multi Finance
7. PT Trust Finance Indonesia, Tbk
8. PT Capitalinc Finance
9. PT Al-Ijarah Indonesia Finance
10. PT Trimamas Finance
2. Pegadaian Syariah
1. Perum Pegadaian Syariah
1. Perum Pegadaian Syariah
3. DPLK Syariah
1. DPLK Manulife Indonesia
2. DPLK Muamalat
1. DPLK Manulife Indonesia
2. DPLK Muamalat
4. Bisnis Syariah
1. PT Sofyan Hotels
2. PT Ahad-Net Internasional
3. PT Usahajaya Ficooprasional
4. PT Exer Indonesia
1. PT Sofyan Hotels
2. PT Ahad-Net Internasional
3. PT Usahajaya Ficooprasional
4. PT Exer Indonesia
5. Modal Ventura Syariah
1. PT Bahana Artha Ventura
1. PT Bahana Artha Ventura
6. Lembaga Penjaminan Syariah
1. Perum Sarana Pengembangan Usaha
Diposkan 25th January 2014 oleh MUHAMMAD NIZAR
Posting Komentar